By: Homsil Adadi EF:
Dalam acara Pengkaderan Anggota Baru (PAB)
Dalam acara Pengkaderan Anggota Baru (PAB)
2013
“Mahasiswa sering di sebut dengan manusia setengah dewa. Kecerdasan dan idealisme laksana bara yang berkobar-kobar dan menyala-nyala. Dan jikalau hal tersebut telah berkobar-kobar dan menyala-nyala pula di dalam dadanya seseorang
manusia, manusia yang demikian itu menjadi manusia sebagaimana yang dikatakan saudara Hamka, tidak takut akan mati. Kecerdasan
dan idealisme senantiasa menciptakan
kekuatan luar biasa yang membuatnya aktif bergerak dan karena
hal itu pula mahasiswa di posisikan satu tingkat di atas
gembel dan satu tingkat di bawah presiden. Dalam
hal ini kita kita pahami bahwa tidak ada
ruang yang tidak bisa di masuki oleh mahasiswa dan karena eksistensinya
tersebut mahasiswa sangatlah di takuti terutama oleh pemangku kekuasaan.
Kilas Balik Sejarah Mahasiswa
Popularitas sebagai
otoritas dan qualitas hanya sebatas mengisi ruang kelas. Hal ini yang sering
kita temui dan sekaligus membedakan mana mahasiswa secara predikat dan mana mahasiswa yang hakekat. Padahal ketika kita kilas
balik, sejarah mencatat peran mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat,
menempatkan mahasiswa sebagai basis intelektual menuju masa depan yang cerah.
Peran mahasiswa yang realistis dalam berbangsa dan bernegara telah terukir
dalam sejarah Indonesia yang telah mewujudkan Perubahan
di segala bidang. Dan bahkan
mahasiswa selalu menolak segala bentuk kesewenang-wenangan seperti pada Tahun 1966, mahasiswa dengan jiwa mudanya
mampu menggulingkan Soekarno (Orde Lama) Otoritarianisme negara berupa
pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup dapat ditolak. Berlanjut
pada tahun 1998 dengan pergerakan yang sistematis dan teroganizir mahasiswa
bersama Tokoh-Tokoh masyarakat mampu menggulingkan rezim Soeharto (1998) yang
akhirnya mengundurkan diri sebagai dari kursi kepresidenan.
Peran mahasiswa seringkali dilemahkan oleh sistem yang terjadi di
kampus, seperti adanya aturan kampus yang seolah mampu menghipnotis gerakan mahasiswa
menjadi lamban dan serba pragmatis, bahkan pragmatisme tersebut
kemudian seakan menjadi solusi yang mulai terlembagakan. Mahasiswa sudah tidak lagi
mampu mengkritisi terhadap
persoalan-persoalan kampus. Mahasiswa senantiasa hanya di jadikan sapi perah , yang membuatnya
harus mengamini terhadap
setiap kebijakan yang di buat kampus yang seringkali terasa menyakitkan di
setiap sanubari
mahasiswa. Sehingga kampus yang kita tahu sebagai tempat lahirnya para intelektual muda yang hebat, kini hanya mampu melahirkan manusia-manusia
cengeng yang selalu mengambil tempat paling belakang dalam setiap momen
Pelacuran Idealisme
Maka
jangan sampai dalam diri mahasiswa tertanam penyakit yang di sebut “pelacuran
idealisme” dan otak udang sehingga selalu takut untuk bertindak serta abai
terhadap telaah kejadian yang saat ini sedang terjadi. Mahasiswa yang seperti
ini sudah bisa di pastikan akan selalu berada dalam penindasan, seperti
pembunuhan karakter dan penjajahan intelektual. Yang kemudian
keadaan ini membagi mahasiswa menjadi tiga kelompok, pertama mahasiswa yang
tidak bisa di
ajak susah, kedua mahasiswa yang ingin semuanya serba instan, dan ketiga mahasiswa selalu bersifat penunggu. Kondisi ini kemudian di perparah
dengan sederet catatan kelam seperti anarkisme, menggunakan narkoba, sering bolos
kuliah, hidupnya tidak teratur, dan hal-hal lainnya.
Mahasiswa seharusnya jangan melupakan kewajiban yang berada di balik
namanaya yang agung. Sebagai seorang yang
bergelar maha kita tidak sepatutnya mengalami kelumpuhan
sebuah eksistensi diri. Marilkah kita tinggalkan
pelacuran idealisme dan tunjukkan kualitas emosianal dan intelektual yang kita
miliki pada dunia sehingga semua tahu kalau anda
layak untuk di perhitungkan. Mari kita kembali sebagai penentu perubahan, sebagaimana sebuah Universitas Harvard yang Nomor wahid di dunia
mengungkapkan bahwa 85% yang menentukan kesuksesan, ketapatan keputusan,
promosi jabatan dan lain-lain ditentukan oleh sikap-sikap seseorang. Hanya 15%
yang ditentukan oleh keahlian atau komptensi tehnis yang dimilikinya, yang
justru mempengaruhi 85% keberhasilan kita. Terlepas dari semua itu Mahasiswa
sebagai mata air yang mengaplikasikan paradigma kampus sebagai center of
excellence (Pusat Keunggulan), sehingga tanggung jawab mahasiswa di tengah
masyarakat selalu dipertanyakan. Sebagai mata air yang mengaliri sungai dengan
basis intelektualnya, mahasiswa harus siap ketika dihadapkan dengan dinamika masyarakat, tak ubahnya sebuah negara mahasiswa pun
sebagai student governance (Pemerintahan Mahasiswa) dengan organisasi baik
internal maupun external mahasiswa harus mampu beridiri diatas kaki sendiri. Intinya marilah kita
menjadi seorang mahasiswa
yang aktif serta berprestasi dan Berbudi Pekerti
0 komentar:
Post a Comment