Wednesday 23 September 2015

Mengurai Benang Kusut Masalah

By; Homsil Adadi, Sabtu/25 Oktober 2014) dalam seminar LPI Yaspimu Kertakennah Pmk

Pada tataran realita sangatlah sulit untuk mewujudkan kesepahaman, seringkali  kita harus menghadapi kerasnya tindihan sikap dan persepsi yang bersebrangan dengan pola pikir kita, bahkan masalah kadang timbul dari hal yang kita anggap sepele namun membuat kita menjadi meradang lantaran kita tidak siap menghadapinya. Padahal kita harus berani melewati situasi yang yang super sulit sekalipun  dengan tabah. Seringkali  kita lemah,  terpatahkan sehingga  menjadi orang yang terbuang dari gelanggang persaingan. membuat kita lumpuh total tanpa bisa berbuat apa-apa. Oleh karena itu kita harus berani melihat  konflik sebagai gejala yang wajar yang dapat berakibat negatif maupun positif tergantung bagaimana cara menghadapinya. Dari pandangan baru tersebut dapat kita lihat konflik harus di kelola /di menej sehingga aspek-aspek yang membahayakan dapat dihindari dan ditekan seminimal mungkin, dan aspek-aspek yang menguntungkan dikembangkan semaksimal mungkin.

Seni Menata Masalah
 Saya memaknai Manajeman Konflik secara sederhana adalah seni menata masalah, yakni dengan mengurai semua perbedaan, untuk menciptakan satu rasa yang bisa memenuhi rasa keadilan semua pihak tanpa harus menggunakan kekerasan. Karena hakekat dari persoalan itu sendiri sering timbul karena beberapa hal di antaranya, pertama, masalah di anggap rintangan bukan tantangan. Kedua, kita  cenderung mengedepankan otot daripada otak  Ketiga, kita lebih suka menyalahkan orang lain ketimbang  melakukan tindakan nyata. Dari ketiga hal di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dalam menghadapi masalah seharusnya kita menganggap bahwa persoalan itu bukanlah beban melainkan sebuah tugas mulia yang membutuhkan perjuangan  dan pemahaman (ilmu) yang cukup sehingga masalah bisa akan menjadi berkah

Menu spesial untuk  mengatasi  masalah seperti :
1. Lobying ( Persuasive )
Pendekatan  menjadi cara yang sangat efektif asal tepat waktunya, tepat caranya, tepat  orang yang  menyampaikannya, namun seringkali untuk memilih orang yang tepat untuk menyampaikan,biasanya seseorang akan menggunakan media lewat seorang tokoh yang di anggap tepat untuk menjadi penyambung lidah dari persoalan tersebut
2. Membuang Gengsi
 Menjadi yang pertama untuk berdamai adalah hal yang baik, dengan membuang rasa gengsi  . karena perseolan sulit untuk di atasi jika menyangkut dua orang yang berbeda pandangan tanpa ada salah satu pihak yang ber etikad untuk memulai menyelesaikan masalah tersebut
3. Pengalihan Isu
Konflik juga bisa kita atasi dengan melakukan pengalihan isu yang bertujuan untuk mengaburkan masalah yang sebenarnya, walau hal seringkali di gunakan untuk mengatasi masalah dalam jangka pendek
4. Intropeksi
Di suatu konflik tidak mesti kita menyelesaikan masalah dengan kekerasan di balas kekerasan, tapi ada baiknya kita melakukan intropeksi unruk mengambil suatu tindakan,  agar bisa mengurangi tensi konflik batin dan membuat hati kita lebih tenang, dan pada akhirnya akan membuat kita lebih bijakasana dalam mengambil sebuah tindakan penyelesaiaan


Demikian ulasan ini kami buat dengan harapan  semoga bisa memberikan sumbangan pemikiran penyelesaian masalah yang kita hadapi. Jauhkan rasa takut dan mulailah untuk menghadapi masalah yang ada dengan jiwa yang bijak

Menghidupkan Kembali Kesaktian Mehasiswa

By: Homsil Adadi EF:  
Dalam acara  Pengkaderan  Anggota Baru (PAB)
 2013



Mahasiswa sering di sebut dengan manusia setengah dewa. Kecerdasan dan idealisme laksana bara yang berkobar-kobar dan menyala-nyala. Dan jikalau hal tersebut telah berkobar-kobar dan menyala-nyala pula di dalam dadanya seseorang manusia, manusia yang demikian itu menjadi manusia sebagaimana yang dikatakan saudara Hamka, tidak takut akan mati. Kecerdasan dan idealisme  senantiasa menciptakan kekuatan luar biasa yang membuatnya   aktif bergerak  dan karena hal itu pula mahasiswa di posisikan satu tingkat di atas gembel dan satu tingkat di bawah presiden. Dalam hal ini kita kita pahami bahwa tidak ada ruang yang tidak bisa di masuki oleh mahasiswa dan karena eksistensinya tersebut mahasiswa sangatlah di takuti terutama oleh pemangku kekuasaan.

Kilas Balik Sejarah Mahasiswa
         Popularitas sebagai otoritas dan qualitas hanya sebatas mengisi ruang kelas. Hal ini yang sering kita temui dan sekaligus membedakan mana mahasiswa  secara predikat  dan mana mahasiswa yang hakekat. Padahal ketika kita kilas balik, sejarah mencatat peran mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat, menempatkan mahasiswa sebagai basis intelektual menuju masa depan yang cerah. Peran mahasiswa yang realistis dalam berbangsa dan bernegara telah terukir dalam sejarah Indonesia yang telah mewujudkan  Perubahan di segala bidang. Dan bahkan mahasiswa selalu menolak segala bentuk kesewenang-wenangan seperti pada Tahun 1966, mahasiswa dengan jiwa mudanya mampu menggulingkan Soekarno (Orde Lama) Otoritarianisme negara berupa pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup dapat ditolak. Berlanjut pada tahun 1998 dengan pergerakan yang sistematis dan teroganizir mahasiswa bersama Tokoh-Tokoh masyarakat mampu menggulingkan rezim Soeharto (1998) yang akhirnya mengundurkan diri sebagai dari kursi kepresidenan.
Peran mahasiswa seringkali dilemahkan oleh sistem yang terjadi di kampus, seperti adanya aturan kampus yang seolah mampu menghipnotis gerakan mahasiswa menjadi lamban dan serba pragmatis, bahkan pragmatisme tersebut kemudian seakan menjadi solusi yang mulai terlembagakan. Mahasiswa sudah tidak lagi mampu mengkritisi terhadap persoalan-persoalan kampus. Mahasiswa  senantiasa hanya di jadikan sapi perah , yang membuatnya harus mengamini terhadap setiap kebijakan yang di buat kampus yang seringkali terasa menyakitkan di setiap sanubari mahasiswa. Sehingga kampus yang kita tahu sebagai tempat lahirnya para intelektual muda yang hebat, kini hanya mampu melahirkan manusia-manusia cengeng yang selalu mengambil tempat paling belakang dalam setiap momen

Pelacuran Idealisme
Maka jangan sampai dalam diri mahasiswa tertanam penyakit yang di sebut “pelacuran idealisme” dan otak udang sehingga selalu takut untuk bertindak serta abai terhadap telaah kejadian yang saat ini sedang terjadi. Mahasiswa yang seperti ini sudah bisa di pastikan akan selalu berada dalam penindasan, seperti pembunuhan karakter dan penjajahan intelektual. Yang kemudian keadaan ini membagi mahasiswa menjadi tiga kelompok, pertama mahasiswa yang tidak bisa di ajak susah, kedua mahasiswa yang ingin semuanya serba instan, dan ketiga mahasiswa selalu bersifat penunggu.  Kondisi ini kemudian di perparah dengan sederet catatan kelam seperti anarkisme, menggunakan narkoba, sering bolos kuliah, hidupnya tidak teratur, dan hal-hal lainnya.
Mahasiswa seharusnya jangan melupakan kewajiban yang berada di balik namanaya yang agung. Sebagai seorang yang bergelar maha kita tidak sepatutnya mengalami kelumpuhan sebuah eksistensi diri. Marilkah kita tinggalkan pelacuran idealisme dan tunjukkan kualitas emosianal dan intelektual yang kita miliki pada dunia sehingga semua tahu kalau anda layak untuk di perhitungkan. Mari kita kembali  sebagai penentu perubahan, sebagaimana sebuah   Universitas Harvard yang Nomor wahid di dunia mengungkapkan bahwa 85% yang menentukan kesuksesan, ketapatan keputusan, promosi jabatan dan lain-lain ditentukan oleh sikap-sikap seseorang. Hanya 15% yang ditentukan oleh keahlian atau komptensi tehnis yang dimilikinya, yang justru mempengaruhi 85% keberhasilan kita. Terlepas dari semua itu Mahasiswa sebagai mata air yang mengaplikasikan paradigma kampus sebagai center of excellence (Pusat Keunggulan), sehingga tanggung jawab mahasiswa di tengah masyarakat selalu dipertanyakan. Sebagai mata air yang mengaliri sungai dengan basis intelektualnya, mahasiswa harus siap ketika dihadapkan dengan dinamika masyarakat, tak ubahnya sebuah negara mahasiswa pun sebagai student governance (Pemerintahan Mahasiswa) dengan organisasi baik internal maupun external mahasiswa harus mampu beridiri diatas kaki sendiri. Intinya marilah kita menjadi seorang mahasiswa yang aktif serta berprestasi dan Berbudi Pekerti

Sunday 13 September 2015

Perubahan, jati diri yang terlupakan

tulisan ini hanya sebuah paparan sederhana, yang kami buat  atas permintaan teman-teman aktivis FKMSB (Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyu Anyar), By : Homsil Adadi EF.

Ada rasa geli ketika saya mendengar kata “perubahan”. Istilah tersebut seakan menjadi jati diri yang terlupakan. Di kampus kita  mengenal para aktivis adalah sosok yang kritis dan senantiasa  menunjukkan  dominasi peran  di segala bidang, ide-idenya sangatlah revolusioner yang membuatnya di segani bahkan di takuti berbagai pihak. Namun akhir-akhir ini sosok seperti ini seakan mulai tidak terbaca eksistensinya. Kondisi  kini seakan semakin renta di makan usia, terjebak sebuah persepsi "yang penting hadir"  meski tidak berbuat apa-apa. Mereka para ktivis kampus seakan memahami aperubahan dalam konteks yang malas, untuk menciptkan perubahan dan cenderung berprilaku sebagai artis kampus 
Padahal hakikat dari perubahan itu sendiri adalah dunia yang di dalamnya terjadi sebuah proses kemajuan dan perbaikan yang berjalan secara dinamis. Sedangkan mahasiswa  adalah figur intelektual  yang memiliki gagasan dan karya, sebagai embrio lahirnya sebuah perubahan. Dengan nalar sehatnya  mahasiswa bisa menganalisa segala bentuk ketidakberesan  yang terjadi, dengan bersikap kritis tapi harus juga rasionalis. Ia di tuntut untuk bisa merubah keadaan menjadi lebih baik dimanapun ia berada tanpa harus menunggu momentum, melainkan ia harus bisa menciptakan momentum. Seorang mahasiswa harus siap menghadapi tekanan, ancaman, himpitan yang akan ia temui. Seperti ketika menyoroti kebijakan kampus yang di rasa kurang bijak, sehingga melahirkan sebuah reaksi dari mahasiswa dan kondisi ini juga bisa memicu reaksi keras sebagai bentuk perlawanan balik dari para pembuat kebijakan tesebut.sehingga mereka yang memiliki keberanian dan jiwa yang kritis harus bisa bertindak secara nyata, tanpa rasa takut dan kaku,  menampilkan sebuah ide yang cerdas bukan malah melakukan pengingkaran jati diri  kita sebagai inzan akademis.
Marilah kita mulai untuk membangun sebuah budaya akademis  dengan memamfaatkan waktu luang kita secara cerdas untuk melakukan hal yang lebih. Lihatlah kesempatan meski dalam kesempitan dan jadikan kesempitan tersebut sebagai jawaban dari sikap apatis dan skeptis yang di alami manyoritas mahasiswa. Menulislah jika anda harus menulis, berteriaklah jika harus melakukan itu dan lakukan jika dengan hal itu anda bisa menciptakan perubahan. bangun kemampuan kita untuk terus melakukan kajian-kajian ,observasi, inovasi dan jadikan itu semua sebagai kegiatan sehari-hari. Karena seorang mahasiswa harus bisa menujukkan kepekaannya baik di bidang politik, hukum, filsafat dan lain sebagainya. Seorang mahasiswa yang baik harus bisa berbagi gagasan dan menyumbangkan sebuah pemikiran serta menemukan solusi terhadap masalah yang ada. masih banyak yang harus di lakukan untuk menjadi pribadi yang banyak tahu, yang kemudian membuat kita menjadi pribadi mapan dalam keilmuan, yang pada akhirnya kita akan tergerak untuk menciptakan perubahan


luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com